Gunung Penanggungan : Tempat Kediaman Para Dewa

Gunung Penanggungan, merupakan gunung berapi yang sedang tidur atau sedang dalam keadaan tidak aktif. Gunung yang memiliki ketinggian 1653 M dari atas permukaan laut ini terletak di kabupaten Mojokerto dan berada pada satu kluster dengan gunung Arjuno dan Welirang.

Gunung ini dikenal memiliki nilai sejarah tinggi karena di sekujur lerengnya ditemui berbagai peninggalan purbakala, baik candi, pertapaan, maupun petirtaan dari periode Hindu-Buddha di Jawa Timur. Di masa itu gunung ini dikenal sebagai Gunung Pawitra, yang memiliki arti sebagai kabut, karena memiliki puncak yang runcing dan berkabut. Setidaknya terdapat 81 bangunan candi yang pernah berdiri di kawasan lereng Penanggungan. Dari angka tahun yang ditemukan di beberapa bangunan candinya, diketahui bahwa bangunan-bangunan tersebut didirikan antara abad X Masehi (Pemandian Jalatundo, 977 M) sampai dengan abad XVI Masehi.

Semua peninggalan bersejarah yang terdapat di kawasan Penanggungan ditemukan pada tahun 1920 an, saat terjadi kebakaran hutan yang hebat di lereng gunung tersebut. Dari kejadian itu pula, benda-benda dari masa kejayaan Majapahit ikut banyak ditemukan beserta situs arkeologi dan ribuan artefak lainnya yang tersebar di lembah dan lereng sisi barat dan utara Penanggungan bisa terungkap.

Penduduk lokal percaya bahwa gunung Penanggungan merupakan gunung yang banyak digunakan sebagai tempat meditasi atau bertapa, dimana juga banyak dihuni oleh para dewa yang sering marah. Bukti atas kepercayaan ini bisa dilihat dari 81 kepurbakalaan yang ditemukan di gunung Penanggungan dan memperkuat anggapan masyarakat Jawa bahwa gunung Penanggunggan adalah gunung yang suci, dan tempat tinggal dewa. Tidak kurang dari 50 punden berundak dengan tiga altar sesajian di terasnya yang tersebar di lembah dan lereng Penanggungan.

Di dalam kepercayaan Hindu Buddha dikenal adanya konsep Makrokosmos atau susunan dalam alam semesta, bahwa alam semesta ini berbentuk linkarang pipih seperti piringan, dimana gunung Mahameru atau Semeru menjadi pusatnya. Gunung Penanggungan, dalam kepercayaan masyarakat Jawa, adalah salah satu perwujudan konsepsi makrokosmos tersebut karena gunung tersebut diyakini sebagai salah satu puncak Mahameru yang dipindahkan oleh dewa penguasa alam.

Sebagai pusat keagamaan pada masa perkembangan Hindu dan Budha, kaum resi memegang peranan penting dalam upacara ritual. Para resi adalah orang yang sudah mengundurkan diri dari dunia ramai dan memilih untuk hidup menyepi pada tempat-tempat yang jauh dari keramaian, biasanya di gunung yang masih sepi dan asri. Gunung Pawitra dijadikan sebagai pusat aktivitas keagamaan tidak lain adalah karena anggapan bahwa Pawitra merupakan puncak Mahameru, titik pusat alam semesta yang dipindah ke Jawa. Dengan bermukim dan beribadah di bangunan-bangunan suci yang tersebar di lereng-lerengnya, maka para resi akan lebih mudah untuk berhubungan dengan dewanya di dunia Swarloka, tempat bersemayamnya para dewa dan Girinatha (Siwa).