Airlangga : Sebuah Nama Dan Masa

Airlangga atau Erlangga, adalah seorang Raja dari Bali yang mendirikan kerajaan Kahuripan, yang merupakan sisa-sisa reruntuhan kerajaan Medang dari kekalahan serbuan Sriwijaya. Airlangga memerintah dari masa 1028-1035 dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadew.

Airlangga, nama yang memiliki arti sebagai "air yang melompat" ini, merupakan putera pasangan Mahendradatta (puteri dari Dinasti Isyana, Medang) dan Udayana (raja Dinasti Warmadewa, Bali). Ia lahir pada tahun 990 dan dibesarkan di istana Watugaluh (Kerajaan Medang) di bawah pemerintahan raja Dharmawangsa. Waktu itu Medang menjadi kerajaan yang cukup kuat, bahkan mengadakan penaklukan ke Bali dan mendirikan Koloni di Kalimantan Barat, serta mengadakan serangan ke Sriwijaya.

Pada tahun 1006, ketika Airlangga berusia 16 tahun, Sriwijaya mengadakan pembalasan atas Medang. Wurawari, yang merupakan sekutu Sriwijaya, membakar Istana Watugaluh, Dharmawangsa beserta Bangsawan tewas dalam serangan itu. Airlangga berhasil melarikan diri ke hutan, dan menjadi pendeta atau pertapa, ditemani oleh pengawalnya, Narotama. Salah satu bukti petilasan Airlangga sewaktu dalam pelarian dapat dijumpai di Sendang Made, Kudu, Kabupaten Jombang.

Setelah beberapa tahun berada di hutan, akhirnya pada tahun 1019, Airlangga berhasil mempersatukan wilayah kerajaan Medang yang telah pecah, membangunnya kembali dan berdamai dengan Sriwijaya. Kerajaan baru ini dikenal dengan Kerajaan Kahuripan, yang wilayahnya membentang dari Pasuruan di timur hingga Madiun di barat. Airlangga dikenal sebagai model toleransi beragama, sebagai pelindung agama Hindu Syiwa dan Buddha.

Airlangga memperluas wilayah kerajaan hingga ke Jawa Tengah dan Bali. Pada tahun 1025, Airlangga memperluas kekuasaan dan pengaruh Kahuripan, seiring dengan melemahnya Sriwijaya. Sejak dari masa itu, pantai utara Jawa, terutama Surabaya dan Tuban, menjadi pusat perdagangan yang penting untuk pertama kalinya.

Di bawah pemerintahan Airlangga pula, seni sastra berkembang. Tahun 1035, Mpu Kanwa menggubah kitab Arjuna Wiwaha, yang diadaptasi dari epik Mahabharata. Kitab tersebut menceritakan Arjuna, inkarnasi Wisnu yang tak lain adalah kiasan Airlangga sendir. Kisah Airlangga digambarkan dalam Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan.

Pada akhir hayatnya, Airlangga berhadapan dengan masalah suksesi. Pewarisnya, Sanggramawijaya, memilih menjadi pertapa daripada menjadi penerus dinasti Airlangga. Pada tahun 1045, Airlangga membagi Kahuripan menjadi dua kerajaan untuk dua puteranya: Janggala dan Kadiri. Airlangga sendiri menjadi pertapa, dan meninggal tahun 1049.